Saturday, February 28, 2015

Indahnya Cinta Dalam Islam (6)

Ketupat in Heidelberg

“Ketika Cinta Indah Terjaga, Ketika itulah Kebarokahan Cinta”


Hannan Tsabita


Pondok Pesantren Asmaul Husna

Dua bulan sudah Balqis melakukan riset tuk selanjutnya menyusun skripsi. Diantara orang-orang yang tengah asik menikmati liburan mahasiswa, Balqis berpacu dengan skripsi dan bimbingan dosen. Liburan juga dimanfaatkan Balqis tuk kajian-kajian rutin di Bulan Ramadhan, kajian privat pun ditekuninya tuk mengejar impian menjadi ustadzah.
Awal tahun 2017 akhirnya tiba, bersyukur Balqis bisa maju ujian pendadaran dan dinyatakan lulus. Sungguh kado terindah diawal tahun bersama selendang cumlaude di sasana wiyata mandala tepat 19 Februari.
Balqis menghabiskan malam wisudanya dengan berkumpul bersama Abi dan Umminya di kampung halaman. Makan malam bersama dan tiba-tiba Ummi memecah obrolan.
“Nak, sekarang kamu sudah lulus. Rencana kamu selanjutnya apa?”
Balqis diam sejenak sambil memikirkan kalimat yang baik untuk kedua orangtuanya.
“Mohon ridhonya Ummi. Balqis insyaAllah ingin melanjutkan S2. Tapi sebelumnya berencana tes menjadi ustadzah dulu selama dua bulan, rencananya berangkat minggu depan. Dan, ummm....” jawab Balqis lalu dengan malu-malu melanjutkan perkataannya.
“Dan Balqis juga minta ridho Abi Ummi, Balqis ingin segera terjaga, Ummi.” Lanjut Balqis sembari tersenyum malu.
“Untuk S2 dan menjadi ustadzah, Ummi sangat senang kamu punya impian-impian dunia akhirat. Keduanya baik dan Abi Ummi setuju. Tapi kalau bisa kamu juga berusaha bisa mandiri dengan cari beasiswa ya, Nak. Kamu tau sendiri kan, kalau masih ada tanggungan adik-adikmu.”
Balqis diam mengangguk sembari tersenyum.
“Soal menikah, yaa insyaAllah Abi dan Ummi sudah ridho. Memang Balqis sudah punya calon?”
“he he belum Ummi, baru kepinginan saja.”
“Yah yang penting sudah ada niat. Ngomong-ngomong soal calon, minggu kemarin Ummi ketemu dengan Ms Raihan. Masih ingat kan?”
“Mas Raihan Athif Ramdhani, maksud Ummi? Yang dulu dekat sama adik?”
“Iya, sekarang juga masih dekat. Kemarin waktu jemput adikmu buat kajian, dia bercanda sih pengin kalau misal jadi menantu Ummi.”
Balqis berpikir sejenak, ingin jujur tentang istikhorohnya tapi belum siap. Khawatir jika Umminya ternyata menginginkan Raihan.
“Menurut Ummi, Mas Raihan gimana?”
“Ummi sih setuju-setuju aja kalau kamu sama Mas Raihan. Dia anaknya sholeh, santun, ustadz lulusan pondok pesantren internasional di Jombang. Kalau urusan keduniaan, tentu bicara bahasa inggrisnya bagus. Mungkin bisa mendukungmu tuk S2 di luar negri. Bukannya kamu pengin banget ke Eropa? Kabarnya dia juga lulusan sarjana sastra inggris.”
Balqis semakin khawatir, sepertinya orangtuanya cukup berharap dirinya dengan Raihan. Informasi dari Umminya membuat Balqis juga jadi berpikir tuk mempertimbangkan pemuda itu menjadi suaminya.
Beberapa hari berikutnya, seusai Shalat Maghrib, duduk bersama di Mushala tuk berdzikir menunggu datangnya Shalat Isya. Lalu tiba-tiba Balqis dengan hati-hati mengungkapkan.
“Umm, Maaf Abi Ummi. Tentang Mas Raihan, Balqis sepertinya belum bisa. Jujur sebenarnya Balqis sudah ada yang diistikhorohi sejak lama.”
“hehe, kamu memikirkan tawaran Ummi itu ya, Nak. Ummi itu hanya cerita dan memberi kamu referensi, tidak bermaksud memaksa. Tentang memilih suami, Ummi dan Abi serahkan sama Balqis. Toh, yang ngejalanin kamu juga.”
“Yang jelas Ummi slalu berdo’a supaya anak-anak Ummi bisa punya jodoh yang sholeh-sholehah dan barokah, syokor-syokor aktivis dakwah atau punya background seorang ustadz. Alhamdulillah lagi kalau punya kedua-duanya.” Lanjut Ummi Balqis
Balqis lega, itu artinya Ummi dan Abi Balqis membebaskan pilihan padanya, dengan syarat-syarat yang bahkan sejalan dengan keinginan Balqis.
“Kalau boleh Abi dan Ummi tau, siapa yang kamu istikhorohi. Barangkali Abi bisa lamarkan untuk kamu?” Abi Balqis yang biasanya hanya diam, tiba-tiba menyahut
“Umm, insyaAllah besok sebelum berangkat tes ustadzah, Balqis akan menemui Ustadz Trisna. Beliau sering mengisi dakwah di kampus dan cukup kenal dekat dengan yang Balqis Istikhorohi. Kalau Abi ada waktu mungkin bisa menemani.”
Keesokan harinya Balqis dan Abinya berangkat ke perantauan menemui Ustadz Trisna. Ustadz Trisna selain sebagai ustadz juga seorang pensiunan, jadi hari-harinya sering di rumah dan hanya mengisi kajian pada beberapa malam saja. Tak sulit menemui beliau.
“Bagaimana Ukhti, kabarnya sudah wisuda ya?”
“Alhamdulillah sudah Ustadz, dua minggu yang lalu. Maaf belum sempat mengabari.”
“Tidak apa-apa. Selain silaturahim, sepertinya mungkin ada hajat lain yang mau disampaikan atau bisa saya bantu?”
“Iya Ustadz. Saya ditemani Abi kesini ingin menyampaikan dan minta tolong sesuatu.”
Ustadz Trisna diam menyimak Balqis.
“Saya ingin sekedar cerita dulu. Desember 2015 lalu saya tertarik dengan seorang pemuda. Lantas saya bertekad istiqomah untuk menjaga perasaan saya dan mengistikhorohinya. Hingga tadi sebelum bertemu ustadz saya juga masih istikhoroh. Saya juga slalu ingat dengan nasihat ustadz tuk tidak berharap 100% yang diistikhorohi adalah milik saya. Jika memang dalam doa istikhoroh itu intinya adalah pasrah. Maka saya pasrah, ibarat menunggu sekian lama di ruang tunggu stasiun kereta, kendati kereta yang datang bukan yang dinginkan, saya insyaAllah menerima dengan pasrah, asalkan tujuan kereta sama yaitu Surga. Intinya saya serahkan pada Allah.”
“Kalau boleh tau, siapa nama pemuda itu?” tanya Ustadz Trisna
Balqis menyerahkan secarik kertas merah jambu dan selembar surat. Si merah jambu tak lain ialah rangkain do’a istikhoroh lengkap dengan sebuah nama pemuda dan ayahnya. Tertanggal Desember 2015. Arkan Daffa Zahroni bin Alif Dharmawan.
“Semoga Ustadz berkenan menyaksikan surat ini dan menyampaikannya. InsyaAllah saya akan menunggu jawabannya dua bulan kedepan. Semoga Mas Daffa juga berkenan istikhoroh.”
“Mohon maaf Ukhti, sbelumnya saya juga ingin bercerita dulu. Beberapa minggu yang lalu saya bertemu Ustadz Alif Darmawan. Beliau melamarkan anaknya pada seorang gadis yang kebetulan anak teman Ustadz Alif.”
Sontak Balqis berdegup jantungnya. Lalu lalang pikiran menyelimuti. Namun dengan bijak ia menanggapi.
“Yasuda ustadz, saya mengikuti jalannya saja terserah bagaimana. Biar yang pertama didahulukan dulu urusannya. Saya siap menunggu apapun hasilnya.”
Beranjak dari rumah Ustadz Trisna, Balqis melanjutkan perjalanan menuju stasiun kereta dalam keadaan kalut.
“Mungkinkah gadis itu Mba Khazna?” tanya Balqis dalam hati
“Mba Khazna memang pantas dipilih oleh Mas Daffa. Sudah sarjana, mandiri, ustadzah, pengurus pondok pesantren, cantik pula. Lengkap sudah ia juga seorang khafidzah Qur’an. Siapa orangtua yang tidak senang punya menantu seperti sosoknya.” Gumam Balqis dalam hati
“Mb Khazna memang jadi bunga yang diidamkan kebanyakan lelaki sholeh, pantas saja Mas Daffa jika memilihnya.” Gumamnya terus terusan
Diantar Abinya, Balqis menuju Pondok Pesantren Asmaul Husna dalam perasaan kalut. Dua bulan disana ia mengikuti serangkaian tes untuk bisa menjadi ustadzah yang profesional. Keilmuan tentang Al Qur’an dan Hadis diujikan sehari-hari. Tak sulit mengikuti tes di pondok yang cukup terkenal di Jawa Timur itu. Sembari terus mengistikhorohi Daffa, Balqis tetap berusaha fokus dengan cita-citanya menjadi ustadzah, agar lengkaplah ia menjadi sarjana yang ustadzah.
Will 2017 Be Amazing?
Jauh dari Pondok tempat Balqis berada, di perantauan ada Ustadz Trisna yang tengah menyampaikan amanah dari Balqis dan orangtuanya. Beliau menyampaikan seperti yang Balqis ceritakan tempo dulu, juga sebelumnya menyerahkan dua titipan. Si Merah Jambu dan surat pun dibaca oleh Daffa saat itu pula. Tertulis rangkaian kalimat dalam selembar surat.
Assalamu’alaikum Akhi Daffa,
Teriring doa semoga akhi selalu dalam kasih sayang dan lindunganNya.
Sebelum menyampaikan maksud surat ini, perkenankan saya bercerita pada akhi.
Alkisah sebuah kisah di Eropa. Ada sehamparan taman bunga yang indah disana, berbagai jenis bunga tumbuh menawan, saling menanti dipetik oleh tuannya. Saat musim semi tiba seorang Putra Mahkota berjalan-jalan mengelilingi taman itu. Memilah dan memilih manakah setangkai bunga yang pantas dibawa pulang, tuk menambah keindahan istananya. Banyak sekali bahkan terhitung sangat banyak warna warni bunga yang cantik nan elok disana. Putra Mahkota pun bingung.
Taukah akhi? Diantara hamparan bunga itu, ada setangkai krisan putih yang sudah empat musim Eropa, setia menanti Putra Mahkota tuk memetiknya. Selama musim itu krisan putih menjaga keindahan dan kesucian dirinya. Krisan berharap suatu saat yang tepat Putra Mahkota kan memetiknya tuk dijadikan perhiasan terindah dalam istananya.
Taukah akhi? Siapa Putra Mahkota itu?
Dialah akhi yang ditakdirkan pernah menarik hati setangkai krisan putih, membuatnya bersabar dalam istikhoroh, menanti hingga saatnya tiba. Selalu memohon pada Mahapencipta tuk menjaga dirinya dari tangan-tangan jail yang hendak merusak keindahannya.
Taukah akhi? Manakah bunga yang hendak dipetik?
selanjutnya adalah pilihan Putra Mahkota, dan Krisan Putih pasrahkan pada Yang Kuasa. Demikian kiranya semoga akhi sudah mengerti maksud surat ini.
Wassalamu’alaikum
Krisan Putih
Balqis
Dua bulan sudah akhirnya Balqis lulus menjadi ustadzah. Selama di pondok ia tak bisa menggunakan handphone dan alat komunikasi lainnya. Sepanjang perjalanan kereta pulang dari Kediri menuju kota perantauan, Balqis mulai membuka-buka informasi. Ternyata banyak email masuk. Memang dulu, setelah wisuda ia langsung memasukkan beberapa lamaran di universitas ternama di Eropa dan Indonesia, juga kampus S1 nya dulu. Sayangnya ia belum diterima S2 di Eropa. Meski begitu, Alhamdulillah ada email lain dari universitas Eropa tempat ia melamar beasiswa, menawarkan undangan Conference gratis di Heidelberg pada Juni nanti. Bertepatan selama satu minggu setelah lebaran.
Setibanya di perantauan, dengan ditemani Mb Qisty, Balqis menyempatkan diri ke rumah Ustadz Trisna. Berharap akan ada angin segar yang menyejukkan.
“Saya sudah sampaikan amanah Ukhti dan orangtua. Mas Daffa sangat mohon maaf pada Ukhti dan menitipkan ini pada saya tuk Ukhti Balqis. Saya harap Ukhti bisa sabar dan menerima, sebagaimana Ukhti bilang bahwa akan pasrah dengan keputusan Allah.” Kata Ustadz Trisna hati-hati sambil menyerahkan sebuah surat dan undangan pernikahan. Tertulis rangkaian surat dari Daffa.
Assalamu’alaikum Ukhti Balqis,
Teriring doa semoga ukhti juga slalu dalam kasih sayang dan lindunganNya.
Ustadz Trisna telah menyampaikan dua titipan pada saya. Trimakasih Jazakillahukhoiro atas doa yang telah dipanjatkan Ukhti untuk saya, dan selalu berusaha menjaga kesucian diri Ukhti. Namun, tanpa mengurangi rasa hormat dan ukhuwah kita saudara seiman.
Saya sangat mohon maaf pada Ukhti,
kiranya dengan secarik undangan ini Krisan Putih bisa tahu manakah Bunga yang kan dipetik oleh Putra Mahkota. Sekali lagi mohon maaf, semoga Ukhti berkenan.
Putra Mahkota
Daffa
Balqis pamit pulang tak bersemangat. Qisty hanya bisa menghiburnya sampai di stasiun kereta. Sepanjang perjalanan ke kampung halaman Balqis bersandar lesu memandangi undangan yang tak lebih indah dari pemandangan gelap diluar kaca jendela kereta. Bintang-bintang pun tak sedang bersinar malam itu. Kesedihan sudah lebih dulu membuatnya tak sanggup membuka undangan yang tertulis namanya sebagai tamu undangan.
“Mba Khazna memang pantas mendampingi Mas Daffa.” Sendu Balqis dalam hati
Balqis sudah bertekad untuk pasrah, tapi kesedihan tentu wajar tuk sekedar menyelimutinya sesaat. Sesampainya di rumah, orangtua Balqis keheranan melihatnya. 
“Sudah lulus jadi ustadzah, katanya juga dapat tawaran conference ke Heidelberg, kug malah sedih anak Ummi ini?” tanya Ummi Balqis keheranan
“Mas Daffa mau menikah Ummi.” Jawab Balqis singkat
“Alhamdulillah, berarti insyaAllah ia kan segera terjaga bersama jodohnya. Kug kamu malah sedih. Memang kapan menikahnya?” tanya Umminya tak cukup menghibur Balqis
“Halaman depan sih tertanggal 29 Mei 2017. Itu tepat di usia Mas Daffa yang ke 25 tahun, Ummi. Usia dimana Baginda Nabi menikah dengan istri tercintanya, Khadijah.” Jawab Balqis sedih berkaca-kaca
“Berarti besok ya. Yasuda jangan terlarut sedih, gak baik. Sekarang Balqis istirahat dan siap-siap untuk besok. Balqis tetap ada niat menghadiri undangan kan? Kewajiban muslim kan menghadiri undangan. Ngomong-ngomong calonnya Mas Daffa siapa? Apa kamu mengenalnya, Nak?”
“Mungkin Mba Khazna, ummi.”
“Kug mungkin, itu undangannya ya? Sudah dibuka belum?” tanya Ummi
“Belum, Ummi.” Kata Balqis, lalu dengan berat hati membuka undangan yang sejak tadi masih utuh dalam bungkusnya. Seketika itu Balqis tercengang kaget melihat nama yang tertulis di dalamnya. Balqis tak menyangka, bahkan berkali-kali mengusap pandangannya tak percaya.
“Kenapa, Nak? Siapa nama calonnya Mas Daffa, kamu kenal?”
Balqis tak bisa berkata-kata, matanya masih keheranan tak percaya dengan dua nama yang tertulis dalam undangan.
Mohon Doa dan Restu atas pernikahan kami,
Arkan Daffa Zahroni & Balqis Hasna Kamilah
Orangtua Balqis hanya tersenyum melihat anaknya yang tampak tersenyum ragu dan bingung tak percaya.
“Ummi dan Abi sudah tau?” tanya Balqis menyelidik
Mereka hanya tersenyum.
“Bagaimana bisa, Ummi?” tanya Balqis masih tak percaya
“Kami mempersiapkan semua, selama kamu di Kediri.”
Balqis seketika langsung sujud syukur dan memuji nama Allah berkali-kali.
Mulai lebaran tahun 2017 kini bisa ia lewatkan bersama pendamping hidupnya. Suami Balqis yang tak lain ialah Daffa, rela mengambil cuti kerja tuk menemani istri tercinta menghadiri conference ke Heidelberg. Setibanya disana, mereka bersantai di tepi Sungai Neckar tepat di samping bawah Old Bridge, jembatan tua yang melintang diatas sungai. Sambil menikmati hidangan ketupat yang sengaja dibawa dari Indonesia. Sungguh indahnya anugrah Allah bisa menikmati suasana lebaran di Heidelberg, tempat impian kedua Balqis setelah Makkah. Pemandangan Istana Tua yang masih kokoh di sebrang sungai pun turut menjadi hiasan kebahagiaan Balqis dan Daffa.
“Emm, kalau boleh tau, Kenapa Mas Daffa akhirnya memilih saya?”
Daffa tiba-tiba mengeluarkan undangan pernikahan merah jambu dan secarik kertas merah jambu pula. Menunjukkannya pada Balqis.
“Berjodoh bukan karena aku kamu atau kita yang saling memilih, tapi Allah yang memilih kita. Terimakasih Jazakillahukhoiro, sudah menjaga hati untuk Putra Mahkotamu ini, Krisan Putihku Sayang”
“Aku ingin slalu mencintaimu karna Allah. Semoga kita berjodoh hingga ke Surga nanti.” Ucap Daffa lalu memeluk erat Balqis diantara kilauan Sungai Neckar yang terpancarkan matahari senja.
“aamiiin.” 

0 comments:

Post a Comment