Gadis manis dengan jilbab sederhana itu menatap lekat-lekat pria di depannya. Pria berkacamata, kurus dan tampak pemalu. Pria itu menunduk dalam sambil tersenyum malu. Sesekali ia mengangkat wajah untuk mencari kepastian kapan ia akan mendapatkan jawaban dari gadis cantik di depannya.
Selain dua muda-mudi tadi, ada orang ketiga yang menjadi saksi, yaitu Puput, teman si manis yang mengamati mereka seperti juri yang sedang menilai sambil berkali-kali melirik jam di pergelangan tangannya. Ia telah bosan menunggu. Sesekali ia menggeleng saat tak kunjung melihat perubahan. Hingga sekian menit berlalu, gadis manis itu hanya menghela nafas dengan wajah tidak senang sambil sesekali menatap pemuda di depannya.
“Mil... gimana? Kok gak dijawab?” pelan lelaki berkacamata. Beberapa waktu yang lalu ia telah mengemukakan perasaannya—menyukai Mila—lengkap dengan penjelasan konkret kenapa ia bisa menyukainya. Alim, sholehah, baik hati, cukup dewasa dan yang terakhir; cantik.
“Mila, dipercepat aja,” keluh Puput. Mila, gadis cantik itu menoleh pada kawannya. Sedetik kemudian beralih pandang kepada pria yang tingginya hampir sama dengannya itu.
“Ijo,” panggil Mila padanya. Pemuda itu mengangkat kepala dengan malu-malu. Duuuh, ni cowok parah banget, sih, rutuk Mila dalam hati.
“Nama saya Dalijo, Mil, buka ‘Ijo’,” katanya.
“Dari pada kupanggil ‘Dal’, pilih mana?” Mila mulai sewot. Dalijo agak kaget. Kawan Mila yang menunggui mereka menepuk jidat dan menggeleng-gelangkan kepala. Lalu berbalik, seperti tidak ingin tahu kelanjutannya.
“Kamu cuma tau aku luarnya aja, kan? Kamu mikir-mikir dulu dong, kalo mau nembak cewek. Setidaknya kamu harus tau kriteria cewek itu,” kata Mila lancar, tanpa macet sedikitpun. Ia seperti telah hafal. Ini sudah kesekian kalinya ada lelaki yang menyatakan perasaan padanya. Dan selalu, jawaban Mila seperti ini. Tidak berubah.
“Maaf... memangnya... kriteria Mila, kayak bagaimana?” tanya Dalijo. Mila tersenyum. Terlihat seperti senyuman penyihir yang jahat.
“Mau tahu kriteria lelaki idamanku?” Mila melangkah maju sedikit. Dalijo agak mundur, takut. Yang ia tahu, Mila adalah gadis yang lemah lembut dan baik hati. Ia tidak menyangka Mila ternyata punya sisi yang menyeramkan begini. Sebetulnya ia segera ingin pergi begitu tadi Mila berbicara dengan ketus. Tapi ia lebih takut lagi untuk kabur. Bisa-bisa Mila menerkamnya karena marah. Khayalan Dalijo terlalu mengada-ada.
“Kriteria lelaki idamanku, pertama, yang sholeh kayak Nabi Muhammad,” Mila maju selangkah, membuat Dalijo mundur selangkah. Ia lalu melanjutkan, “Tampan seperti Nabi Yusuf,” maju lagi selangkah dan Dalijo kembali mundur, terus begitu sambil meneruskan, “Setia kayak Ali bin Abi Thalib, pemberani seperti Umar Bin Khattab, penyayang seperti Abu Bakar, cerdas dan kaya seperti Nabi Sulaiman, sabar seperti Nabi Ayyub, kuat seperti Nabi Dzulkarnain dan disayang Allah seperti Nabi Musa.”
Buk! Punggung Dalijo tak dapat lagi mundur karena terhalang tembok. Mila tersenyum puas. Dalijo seperti anak kecil ingin menangis. Tanpa berkata apa-apa, ia pergi secepat mungkin dari hadapan Mila. Mila menghela nafas.
“Put, ayo!” panggil Mila. Puput mendekatinya. Mereka berdua menuju masjid mengingat waktu ashar hampir tiba.
“Kamu keterlaluan, Mil!” ucap Puput. Mila berhenti melangkah. Kaget dengan ucapan sahabatnya. Biasanya ia tidak pernah protes. “Seperti biasa,” lanjut Puput sambil menarik Mila agar terus berjalan.
“Mau gimana lagi, Put,” kata Mila. “Mereka cuma lihat aku luarnya aja. Lagian aku harus jawab apa lagi? Aku gak suka sama dia,” Mila membela diri.
Mila memang gadis yang cantik. Hidung mancung, kulitnya kuning langsat, bibirnya ranum, matanya indah, tingginya proporsional, sholihah, baik hati—kecuali dalam urusan seperti di atas. Ia sempurna seperti namanya, Kamila. Namun tidak seperti perempuan-perempuan lain yang menginginkan kecantikan sebegitu rupa, Mila merasa dengan apa yang ia punya membuat dirinya mendapat cobaan yang cukup menyusahkan. Banyak lelaki yang menyukainya dan sangat mudah untuk ditebak bahwa mereka hanya menyukai fisik dirinya saja. Orang tua Mila adalah alim ulama’ sehingga sebagai anak, ia dididik dengan baik mengenai akhlak moral untuk menjaga pergaulan.
Selain itu, Mila menyukai satu lelaki di hatinya, sejak dulu hingga sekarang. Seorang pemuda sholih yang sering berada di masjid. Umurnya berbeda tiga tahun dari Mila. Pemuda itu bernama Akmal. Tetapi tak pernah sekalipun Mila berani menunjukkan perasaannya itu kepada siapa pun. Ia tahu setan punya banyak cara. Dan jalannya akan terbuka begitu seseorang menyatakan menyukai sesorang yang bukan mahramnya kepada orang lain. Kecuali orang itu telah tiba waktunya menikah, maka tak apa ia menyatakannya untuk kemudian langsung dinikahkan.
Mila telah mencapai umur dua puluh dua tahun. Ia telah lulus kuliah dan kini sedang membantu mengajar di sekolah ayahnya. Karena merasa cukup umur dan tidak bisa lagi menahan gejolak cinta, Mila akhirnya memberi tahu satu orang terdekatnya, Puput. Dan ia mempertaruhkan persahabatannya untuk menjaga rahasia ini.
.ooooo.
Malam itu Mila dan Puput makan di warung bakso dekat rumahnya. Mila makan dengan lahap karena lapar. Tetapi ia juga tidak berhenti berbicara. Ia bercerita tentang banyak hal. Puput menjadi pendengar yang baik untuk Mila yang cerewet.
“Aduuh!” seru Mila tiba-tiba, membuat Puput terkejut. “Bibirku kegigit! Hiks!” Mila mengaduh pelan sambil memegangi bibirnya. Ia menunjukkannya pada Puput. “Berdarah gak, Put?” tanyanya. Puput menggeleng. Mereka melanjutkan makannya.
“Eh, Mil, tau gak? Kalo kegigit pas makan itu katanya ada yang kangen lho,” ucap Puput sambil tersenyum menggoda. Mila tampak berpikir lalu berseru pelan,
“Dalijo! Awas aja!”
Ganti Puput yang kaget dan heran. Sebetulnya ia ingin menggoda Mila untuk berpikir bahwa yang merindukannya adalah Akmal. Mungkin karena tadi Dalijo yang menembaknya, sehingga Mila menebak yang merindukannya adalah pemuda bernama Dalijo.
.ooooo.
Esoknya, kegiatan remaja masjid berisi tentang materi kepemimpinan yang dipandu oleh Akmal. Akmal memang berbeda. Ia memang masih pemuda seperti yang lain. Tetapi di umurnya yang masih sangat muda itu ia telah menyelesaikan studi strata duanya. Ia memiliki usaha berupa rumah makan sederhana yang selalu penuh pengunjung.
Usaha yang dirintis penuh perjuangan itu kini telah cukup sukses. Selain itu, budi pekerti dan kefahaman agamanya juga memadai. Parasnya yang menyenangkan untuk dipandang menjadi poin tersendiri yang membuat para gadis banyak yang jatuh hati padanya. Begitu pula bagi Mila. Tetapi Mila selalu menyerahkan semua urusannya pada Yang Maha Pemberi Cinta.
Setelah kegiatan sore itu selesai, beberapa pemuda berbincang di teras masjid. Ada pula yang masih nongkrong atau berdiskusi dalam masjid sambil menunggu maghrib. Di lapangan depan masjid Mila mendekati Dalijo yang hendak pulang. Tanpa basa-basi ia memarahi Dalijo.
“Kamu gak boleh kangen sama aku! Katanya suka, tapi malah bikin menderita! Nih, kemarin malam bibirku kegigit pas makan. Mesti gara-gara kamu kangen banget sama aku, kan?”
Dalijo tampak bingung. Ia sebetulnya terlanjur kagol dengan gadis di depannya ini. Dalijo menggeleng lesu dan agak sebal.
“Dalijo nggak kangen sama kamu, kok. Ya maapin Dalijo kalo kamu menderita gara-gara Dalijo,” ucapnya sambil menunduk. Tanpa disadari keduanya, di dekat situ Akmal mendengar percakapan mereka. Ia tersenyum geli. Tak menyangka gadis seperti Mila masih mempercayai hal seperti itu.
“Kegigit pas makan itu gara-gara konsentrasi gerakan rahang terbagi sama yang lain, biasanya terbagi karena makan sambil bicara. Makanya, Mil, jangan cerewet pas makan,” kata Akmal sambil merangkulkan satu lengannya pada bahu Dalijo. Senyumnya yang manis tapi terlihat mengejek itu membuat Mila kalah telak. Bibir Mila mengerucut. Dalijo tersenyum pada Akmal.
“Eh lagi pada ngapain, nih?” Puput menghampiri. Mila tidak menjawab malah mengajaknya pulang. Puput yang heran hanya menurut saja. Ia tertawa setelah mendengar ceritanya dari Mila.
“Hahahaha... maaf, ya Mila sayang. Habisnya kamu kok gampang banget percaya,” ucap Puput. Mila menoleh pada sahabatnya itu.
“Aku kan percaya kata-kata sahabatku karena aku yakin dia gak bakal bohongin aku,” wajah Mila tampak sebal.
“Maaf, Mila. Tadinya aku mau bilang sama kamu kalo aku cuma bercanda. Tapi lupa. Hehehe.”
Mereka melangkah menuju rumah. Sore yang cerah mengiringi di sepanjang jalan yang mereka lalui. Berharap senja lebih lama. Bagai manapun, Mila senang karena sempat berbicara dengan pujaan hatinya.
.ooooo.
Mila sedang duduk di teras rumahnya ketika tiba-tiba seseorang mengucapkan salam. Mila menengok sambil menjawab salam. Ternyata Dira, salah satu pengurus remaja masjid seperti Mila.
“Ada apa, Dir? Mari duduk,” kata Mila sambil tersenyum manis. Dira membalas senyum Mila lalu duduk di sebelahnya.
“Mil, aku mau cerita. Tapi aku bingung mau cerita ke siapa. Kamu tahu aku pendiam. Tidak punya teman dekat dan tidak ada yang mau mendekati,” Dira berhenti bicara. Mila memandang lekat-lekat gadis manis di depannya ini.
Ia kenal Dira sejak dulu. Ia memang anak yang pendiam dan baik hati. Ia juga anak yang tidak terlalu bisa bergaul dengan anak lain. Tapi Mila sering tertarik dengan anak ini. Jadilah setahun belakangan Mila cukup dekat dengan Dira. Meskipun sahabat terbaiknya tetaplah Puput.
“Jangan mikir begitu. Kita semua kan berteman. Punya teman dekat juga tidak wajib. Toh kita menjalani hidup ini sendiri-sendiri. Yang penting bergaul yang baik dengan orang-orang sekitar,” Mila menyemangati. “Mau cerita apa? Aku bakal dengerin, kok.”
Dira tersenyum. Ia kagum dengan kebaikan hati gadis cantik di depannya ini. “Gini, Mil. Aku lagi suka sama cowok. Namanya juga cewek udah gede, bisa suka juga sama cowok. Aku minta bantuanmu buat ngedeketin aku sama dia.”
“Mendekatkan bagaimana?” Mila heran. Kalau tujuannya pacaran, jelas Mila akan menolak. Tidak mungkin ia membantu melancarkan program kemaksiatan seperti itu.
“Yaa, sekedar mendekatkan. Aku belum pernah bicara sama dia. Aku pengen banget ngobrol sama dia.”
“Cuma sekedar ngobrol?”
“Untuk saat ini ngobrol saja.”
“Tunggu, tujuanmu dekat sama dia apa? Pacaran?” Mila mencoba menodong. Bibirnya menyunggingkan senyum agar tidak terkesan menuduh.
“Nggak lah, Mil. Na’udzubillah itu mah!” kata Dira membuat Mila lega.
“Eh, aku baru sadar aku belum tau siapa cowok yang kamu maksud.”
Dira tersipu malu. Lalu dengan suara pelan berkata, “Akmal.”
.ooooo.
Mila merenung di kamarnya. Ia bingung dan resah. Bulan yang mengintip dari jendela saat itu tak mampu menenangkan hati Mila.Akmal... kenapa harus dia? Kalau orang lain tidak apa. Ini Akmal. Duuuuh, mana aku terlanjur menyanggupi permintaan Dira. Aku gak mungkin menjilat ludah sendiri. Ya Allah, buatlah aku bisa ikhlas menerima jika ternyata Akmal juga suka dengan Dira dan akhirnya mereka menikah.
Sebutir air mata menetes dari ujung mata Mila. Hatinya tidak rela. Tiba-tiba Mila merasa takut jika tidak menikah dengan Akmal. Ia memiliki sifat yang diturunkan ibunya yaitu sulit jatuh cinta, bahkan hanya jatuh cinta sekali seumur hidup. Dan cinta Mila, jatuh pada Akmal. Mila mengambil air wudhu lalu bersujud pada Allah. Semoga diberi segala yang barakah untuknya.
.ooooo.
“Mas Akmal, saya ada perlu,” kata Mila pada Akmal yang hendak keluar masjid. Akmal agak kaget ketika Mila menghampirinya. Dan lebih kaget ketika diajak bicara. Dalam hati, Akmal minta maaf pada Dalijo.
Mereka berjalan menuju sebuah taman yang sepi. Saat hendak masuk, Akmal berhenti.
“Kita cuma berdua? Maaf, sebaiknya cari teman dulu,” Akmal mundur dan hendak berbalik.
“Eh, bentar, Mas!” seru Mila dengan cepat. Akmal menoleh. “Kita gak berdua kok. Tuh, udah ada yang nunggu.”
Akmal menengok dan melihat seorang gadis berjilbab telah duduk di sebuah kursi yang panjang. Mila duduk di sampingnya dan Akmal duduk di bangku panjang di hadapannya. Taman itu sedang sepi. Hanya beberapa orang di sana sedang berbincang atau jalan-jalan.
“Begini, Mas. Kita mau membicarakan kegiatan remaja masjid yang akan dilaksanakan bulan depan. Dira punya usulan yang sangat cemerlang, tetapi ia ingin berknsultasi terlebih dahulu sebelum mengajukannya pada panitia kegiatan,” Mila membuka pembicaraan. Akmal mengangguk-angguk setelah diberi penjelasan oleh Mila.
“Jadi bagaimana usulanmu itu?” tanyanya pada Dira sambil tersenyum manis. Dira menahan nafas. Terlihat jelas ia sangat senang dan berdebar. Wajahnya sedikit merona merah. Mila menatap dengan memelas. Hatinya bergetar, terasa menyiksa. Ia menyabar-nyabarkan hatinya.
Dengan pelan Dira mencoba menjelaskan usulan yang dimaksud Mila. Sebenarnya usulan itu malah dari Mila tetapi sengaja ia menyuruh Dira yang menyampaikannya pada Akmal, sesuai permintaan Dira.
“Oh, begitu. Bagus sekali usulannya! Saya kira sudah bagus dan bisa langsung diajukan ke panitia,” Akmal bersemangat. Ia memang orang yang selalu menghargai orang lain. Mila sedih karena merasa seharusnya dirinya lah yang mendapat sanjungan dari Akmal.Astaghfirullaah, jerit Mila dalam hati. Ia sadar telah salah niat. Ia harus ikhlas.
“Aku suka sama Mas Akmal,” ucap Dira tiba-tiba sambil menatap dalam-dalam ke mata Akmal. Mila terkejut atas perbuatan temannya itu. Akmal lebih terkejut lagi. Keningnya berkerut lalu menoleh ke arah Mila. Mila sadar, ia langsung menepuk bahu Dira.
“Dir, gak sebaiknya kam...” ucapan Mila langsung dipotong Dira.
“Maaf, Mil. Aku suka banget sama mas Akmal. Aku gak bisa nahan lagi,” Dira menunduk malu. Mila merangkulnya. Ia menoleh pada Akmal. Akmal menyandarkan punggungnya ke kursi. Menghela nafas panjang dan berat. Lalu dengan muka serius ia menjelaskan pada gadis di depannya,
“Maaf, Dira. Mungkin kamu salah kalau suka padaku. Aku hanya pemuda biasa dengan idealisme yang sok tinggi. Mungkin kamu harus tahu, tipe perempuan yang kuinginkan.”
Mila dan Dira penasaran, menunggu kelanjutan kalimat Akmal.
“Yang sholihah seperti Masyithah, cantik seperti Zulaikha, cerdas seperti Aisyah, dermawan seperti Khadijah, sabar seperti Hajar, setia seperti Fathimah. Maaf,” Akmal bangkit lalu beranjak meninggalkan dua gadis itu. Dira langsung menangis sesenggukan. Mila menenangkannya dengan mengatakan masih banyak ikan di laut, masih banyak lelaki yang bisa terpaut.
Dalam hati Mila bersyukur karena ternyata Akmal tidak menerima pernyataan suka dari Dira yang berarti Mila masih punya kesempatan. Tetapi ia juga sedih. Kriteria Akmal sungguh-sungguh idealis dan tak tergapai.
.ooooo.
“Lho, sama aja sama kamu, kan, Mil?” komentar Puput setelah diceritakan oleh Mila tentang tipe kesukaan Akmal. Mila mengangguk setuju. Mereka sedang duduk di kursi yang ada di beranda rumah Mila saat itu.
“Tapi kalo aku kan, kriteria itu cuma kujadikan alasan supaya cowok-cowok kapok dan gak deketin aku lagi. Susah tau, menjaga dari lawan jenis,” bela Mila.
“Ya, semoga aja Akmal juga begitu. Lagian, kesempurnaan itu hanya milik Allah. Semua manusia diambil sifat-sifat baiknya saja tetap tidak bisa membandingi Allah. Semangat, Mil! Aku pulang dulu, ya!” Puput berpamitan. Tepat ketika itu ibu Mila keluar.
“Eh, udah mau pulang, Put?” ucap ibu Mila. Puput mengangguk sopan. Ia mengucapkan salam sebelum meninggalkan Mila dan ibunya.
“Mil, kamu kenal dengan Tony anaknya Pak Broto?” tanya ibunya yang kemudian duduk di sebelah Mila. Mila yang tadinya bersantai di pundak ibunya tiba-tiba menegakkan badan. Matanya membulat. Lelaki yang disebut ibunya itu pernah menyatakan perasaannya pada Mila sekitar dua bulan yang lalu. Dan Mila membalasnya sama persis seperti ia menjawab Dalijo. Meskipun tony sama sekali tidak mundur apalagi takut pada Mila. Ia malah mengatakan akan terus mengejar Mila.
Yang Mila tidak sukai dari tony adalah sikap atau akhlak tony yang menurutnya kurang baik. Ia pernah menjumpai tony sedang memarahi ibu dan neneknya karena terlambat memasak dan menyetrika bajunya sehingga ia terlambat berangkat kerja. Mila tidak mau dibentak-bentak setelah menikah dengannya nanti hanya karena terlambat membuatkan sarapan. Apalagi Mila memang sedang belajar memasak sebab biasanya ia selalu dimasakkan ibunya.
“Kenal, Mi. Kenapa?” tanya Mila akhirnya.
“Dia melamar kamu,” kata sang ummi sambil membelai kepala Mila. “Kamu kan sudah dewasa, wis wayahe nikah kowe Nduk.”
Mila memandang wajah ibunya. Dua kakak Mila telah menikah. Mila anak terakhir. Anak perempuan adalah amanah bagi orang tuanya. Ketika anak perempuan telah menikah, maka perempuan itu menjadi amanah bagi suaminya. Jika ia telah menikah, maka amanah kedua orang tuanya telah selesai.
“Ummi merasa berat meramut Mila, ya?” tanya Mila. “Maafkan Mila kalau Mila sering membuat ummi sedih atau marah,” Mila memelas. Ia tahu ia adalah anak terakhir yang manja.
“Tidak kok. Ummi sayang sama semua anak ummi. Tapi menikah itu juga kebutuhanmu. Kamu tidak mungkin selamanya hidup jadi anak, kan? Apa kamu tidak punya keinginan menikah?”
“Pengen, lah, Mi! Hehehe. Iya iya, Mi. Mila bakal nikah secepatnya kalo udah ada yang cocok di hati Mila.”
Pembicaraan ibu anak di beranda rumahnya itu tidak sengaja terdengar oleh beberapa pemuda yang kebetulan lewat. Mengetahui perkataan Mila tadi, timbul semangat membara mereka. Setelah kabar itu tersebar, persaingan pun di mulai.
.ooooo.
“Mila gak mau, ah, Mi. Mereka itu bukan orang serius,” kata Mila pada ibunya setelah diberi tahu tentang lamaran pemuda ke enam. Ya, telah ada enam pemuda yang melamar Mila dalam kurun waktu seminggu. Mila tak habis pikir. Hal ini sungguh aneh.
“Kamu yang bilang, kan Mil kalau kamu akan segera nikah? Ummi dan Abi tidak enak kalau terus menerus menolak pinangan mereka. Yang melamar itu orang tuanya langsung, Mil.”
“Tapi Mila tidak cocok dengan semuanya. Pokoknya Mila gak mau nerima lamaran mereka. Kalo masih ada juga yang melamar, langsung ummi tolak saja!” Mila sebal. Ia langsung masuk ke dalam kamarnya. Umminya hanya bisa mengelus dada.
Kriiiiiiiiiiiiiing! Telepon di sebelah ibu Mila berbunyi dan langsung diangkat.
“Assalamu’alaikum,” sapa ibu Mila. Suara di seberang menjawab salam. Lalu orang itu menjelaskan sesuatu pada ibu Mila.
“Wah, maaf sekali, Mila berpesan ia sedang tidak ingin diganggu apa lagi dilamar. Jadi sekali lagi maaf, lamaran Anda ditolak. Terimakasih, wassalam.”
Mila yang mendengar dari dalam kamar hanya bisa menggeleng-geleng kepala.
.ooooo.
Pagi itu hari sabtu. Mila tidak mengajar. Jam kerjanya hanya di hari Senin sampai Jumat. Ia kini sedang berjalan menyusuri setapak menuju rumah Bu Liknya. Ibunya yang memintanya untuk memberikan makanan karena Bu Liknya itu sedang sakit sehingga tidak ada yang membuatkan makanan untuk anak dan suaminya. Dari pada membeli makanan, lebih baik makanan di rumah Mila sebagian diberikan pada mereka.
Dari jauh Mila melihat Akmal sedang menyapu halaman rumahnya yang asri. Ia memakai kaos dan sarung. Wajahnya yang tampan telah bersih dari gurat-gurat kantuk. Rambutnya yang lebat dan legam menambah pesona di balik kesederhanaan pemuda itu. Mila makin dekat dengan rumah itu dan kini Akmal memberikan senyum yang manis kepadanya. Mila merasa dirinya hanya bermimpi.
“Assalamu’alaikum,” sapa Akmal. Mila menjawab pelan. Terlihat sedikit raut mendung di wajah Akmal kini. Mila menyadarinya. Ia buru-buru minta maaf.
“Maaf, Mas. Saya terlalu pelan menjawab salam ya?” tanyanya merasa tidak enak. Akmal menggeleng lalu tersenyum lagi. Mila tidak sanggup menjaga hatinya bila terus menerus melihat senyum indah milik Akmal. Mila memilih menunduk sedikit.
“Mau kemana, Mil?” tanyanya. Mila menjawab seadanya lalu minta diri. Ia tidak sanggup berlama-lama dengan pemuda itu kalau tidak mau hatinya dipenuhi butir-butir yang ditaburkan setan untuk menggodanya.
.ooooo.
Di rumah Mila tidak dapat berhenti memikirkan Akmal. Ia tersenyum lebar sendirian. Lalu tiba-tiba murung sekali. Hingga sore tiba dan kini ia sedang makan dengan abah dan umminya. Sikapnya tidak berubah. Ia tidak cerewet bercerita kesana-kemari seperti biasanya. Ia hanya makan dengan lahap di satu waktu dan makan dengan sangat lambat di waktu lain. Orang tuanya langsung curiga.
“Bah, kayaknya ada yang lagi jatuh cinta nih,” kata umminya. Mila tersentak.
“Oh, tentu saja, Mi. Abah jatuh cinta sama Ummi setiap detik dan setiap waktu. Hahahaha!” abahnya tertawa. Membuat ummi Mila tersipu malu sambil mencubit lengan suaminya. Mila mengamati sambil tersenyum. Ia ingin seperti kedua orang tuanya yang awet cintanya hingga tua.
“Bukan itu, Bah. Kalau itu ummi sudah tau. Ini tentang si bungsu. Sepertinya sedang jatuh cinta,” ummi dan abahnya menatap anak terakhirnya. Mila jadi salah tingkah. Biasnya ia dapat menyembunyikan perasaannya yang ia simpan untuk Akmal dengan baik. Tetapi kini ia kebobolan. Ia ketahuan. Ia tidak sanggup bersembunyi lagi dari kedua orang tuanya.
“Iya, Bah, Mi. Mila suka sama seorang pemuda yang insya’ Allah baik akhlaknya. Menjaga diri dan hatinya. Hormat pada orang tuanya. Ia pemuda yang cerdas dan mapan. Mila ingin...” Mila berhenti bicara. Entah mengapa ia merasa sedikit malu.
“Abah akan melamarnya untukmu, Nduk. Siapa pemuda beruntung itu?” tanya sang abah dengan lembut. Mila bersyukur memiliki orang tua yang pengertian seperti itu.
“Akmal, Bah,” pelan Mila sambil tersenyum menunduk.
“Astaghfirullah, Mila,” seru ibunya membuat Mila dan abahnya kaget. “Dia pemuda ketujuh yang melamar kamu dan langsung ummi tolak mentah-mentah kemarin, sesuai permintaan kamu. Maafkan ummi, Mila,” jelas ibunya. Mila mencoba mengingat-ingat. Saat itu ia minta ibunya langsung menolak siapa pun yang melamarnya. Dan saat itu juga ada yang melamar lewat telepon dan langsung di jawab ibunya begini,
“Wah, maaf sekali, Mila berpesan ia sedang tidak ingin diganggu apa lagi dilamar. Jadi sekali lagi maaf, lamaran Anda ditolak. Terimakasih, wassalam.”
Mila tertunduk lesu. Akmal sudah melamar aku dan kutolak mentah-mentah lewat ummi. Eh, tunggu. Akmal melamar aku? Itu berarti Akmal suka sama aku! Tadi pagi dia masih mau tersenyum padaku. Sungguh lapang dada. Semoga aku masih ada kesempatan!Pikirnya dalam hati.
“Bukan salah ummi kok!” kata Mila sambil tersenyum. Ia berdiri. “Ummi, Abah, Mila mau ke rumah Akmal dan menjelaskan semuanya, assalamu’alaikum!” katanya buru-buru. Untung saja makanannya telah habis.
Saat melewati masjid, ia melihat Akmal di sana. Sedang menyiram tanaman di depan masjid. Sekeliling sepi saat itu. Mila melangkah mendekat. Setelah cukup dekat, ia mengucapkan salam. Akmal berbalik dan menjawab salam. Ia berhenti menyiram.
“Ada apa, Mila?” tanyanya sopan. Mila mengatur nafasnya sebab sepanjang jalan ia setengah berlari. Melihatnya, Akmal mengajak Mila duduk di serambi masjid. Mila menurut. Masjid sangat sepi meskipun di jalan orang lewat lalu-lalang. Mila dan Akmal duduk berjarak. Setelah tenang, Mila malah bingung mau bicara apa. Wajahnya merona merah karena malu.
“Mil?” tanya Akmal.
“Mas Akmal, sore ini gak ada TPA?” Mila sadar atas sepinya masjid itu.
“Ini kan hari Sabtu. Anak-anak ngajinya Senin sampe Kamis,” jawab Akmal, sedikit heran. Mila kadang-kadang juga membantu mengajar TPA.
“Mas Akmal, apa Mas Akmal kemarin malam menelpon ke rumah?” tanyanya pelan. Mila tidak berani menatap Akmal langsung. Ia hanya mengintip. Wajah Akmal sedikit berubah, tidak secerah tadi. Mila menjadi tidak enak. Ia harus segera menuntaskannya.
“Maaf, Mas. Saya tidak tahu kalau yang menelpon itu mas Akmal. Seandainya saja saya tahu, saya akan...” Mila berhenti bicara. Ia menunduk makin dalam dan suaranya kian kecil. Akmal mengangguk-angguk.
“Mila,” panggil Akmal. “Saya ini sudah tua. Saya mau cepat-cepat menikah, sebelum ketuaan,” Akmal tersenyum. Mila ikut tersenyum. Umur dua puluh lima sudah tua katanya?
“Setelah waktu itu ibu Mila menolak saya, saya bulatkan tekad untuk melamar gadis...” Akmal berhenti. Mila tersentak dalam hati. Ia tidak memikirkan kalau Akmal akan melamar gadis lain. Mila pikir ia masih bisa memperbaiki segala sesuatunya. Air matanya sudah hampir menetes.
“Dan kali ini saya bertekad untuk terus melamar sampai diterima. Lho, Mil, kamu kenapa?” Akmal kaget melihat Mila menangis.
“Duuh, gini, Mil. Saya minta maaf. Maaaaaf banget,” Akmal memelas. Tetapi air mata Mila semakin deras. Mila merasa bodoh telah sembarangan membuat keputusan. Mila ingin diberi kesempatan lagi.
“Mila, maafin saya. Saya keterlaluan ya, bercandanya?” Akmal merasa kikuk. Tetapi Mila berhenti tersedu. Bercanda? Apa maksudnya? Kayak gini dianggap bercanda, gitu? Rutuk Mila dalam hati. Sedu-sedannya makin keras.
“Mila, berhenti dong, gak enak diliatin orang,” Akmal memelas. Hatinya trenyuh juga melihat seorang perempuan menangis di depannya.
“Mila, di rumah ada bapak-ibu?” tanya Akmal. Mila mengangguk pelan.
“Yuk, ke rumah kamu. Saya mau bicara sama mereka,” ajak Akmal. Mila berhenti menangis. Ia mengusap wajahnya. Setelah itu ia langsung beranjak ke rumah dengan berjalan cepat, meninggalkan Akmal jauh di belakang. Di rumah ia mengunci kamarnya lalu melanjutkan menangis sambil memeluk bantal, seperti anak kecil. Di luar, Akmal berbicara dengan kedua orang tua Mila.
“Mila!” panggil ayahnya. Suaranya terdengar tegas sehingga Mila tidak berani untuk tidak menyahut. Setelah itu ia mencuci muka lalu keluar menuju orang tuanya dan Akmal berada.
“Mil, gimana, kamu mau kan, menikah dengan Akmal?” tanya sang abah begitu Mila duduk di sampingnya. Mata Mila membelalak.
“Iya, Mil. Aku bilang tadi mau melamar gadis. Itu maksudnya kamu. Dan aku bakal melamar kamu terus sampai di terima,” jelas Akmal sambil tersenyum. Mila mematung tak percaya. Tega sekali dia mempermainkan dirinya.
“Tidak!” tegas Mila. Orang tuanya kaget. Tetapi Akmal tidak. Ia berpikir Mila hanya bercanda.
“Aku tidak bercanda,” kata Mila sambil menatap Akmal dengan sebal. “Pokoknya aku tidak mau menikah sama Akmal kalau tidak malam ini!” pipi Mila merona merah. Ia kini menunduk sambil tersenyum.
“Wahahaha, anak muda yang sedang jatuh cinta memang harus segera disatukan!” kata abah Mila. Semuanya tertawa. Setelah itu mereka membicarakan pelaksanaan pernikahan yang mendadak itu. Orang tua Akmal datang dan ikut rembug. Setelah dicapai kesepakatan, segera dilaksanakan pernikahan sederhana. Masalah walimah belakangan.
Di masjid, Mila menikah dengan Akmal disaksikan seluruh warga yang sholat isya’ berjama’ah. para pemuda kecewa hatinya karena Mila telah jadi milik Akmal, begitu pula para gadis. Puput menangis haru, bahwa sahabatnya telah menikah dengan pemuda yang diimpikannya. Ia memeluk sahabatnya erat. Malam itu menjadi malam yang paling indah bagi
Malam hari setelah pernikahan, Mila dibawa Akmal berjalan-jalan dengan mobil tuanya. Berdua menikmati kota yang indah itu. Singgah ke restoran milik Akmal. Membuat terkejut para pegawainya yang sepanjang pengetahuan mereka, Akmal adalah pemuda alim yang tidak pernah berpacaran. Ia kesana dan segera memberi tahu pernikahan mereka. Seluruh pelanggan yang datang boleh menikmati makanan dengan gratis. Ia juga memberi tahu kepala pegawai untuk menyiapkan hidangan untuk besok saat walimah.
Setelah itu sepasang kekasih itu menuju hotel islami yang menyediakan layanan untuk pengantin baru. Sepanjang perjalanan Mila menatap lekat-lekat wajah suaminya yang ketampanannya terlihat berllipat-lipat. Itu karena hati Mila yang selama ini menahan untuk tidak mencintai Akmal terlalu dalam, kini bebas melampiaskan perasaannya. Begitu pula dengan Akmal.
“Ingat waktu dulu kamu bilang ke Dalijo, bibirmu kegigit waktu makan?” tanya Akmal sambil membagi konsentrasi menyetirnya dengan memandang wajah jelita Mila. Mila mengangguk sambil tersenyum.
“Kamu bilang itu karena seseorang merindukanmu, iya kan?” tanyanya lagi. Mila hanya mengangguk.
“Waktu itu aku yang bersalah karena merindukanmu terlalu dalam.”
saya sudah berkali-kali baca cerpen di blognya Nurlafita dan kesimpulan saya "Cinta akan datang saat kita siap menerimanya" .
sumbernya http://nurlafitawish.blogspot.com/2013/06/perfect-love.html
sumbernya http://nurlafitawish.blogspot.com/2013/06/perfect-love.html

0 comments:
Post a Comment